I.
PENDAHULUAN
Pernikahan atau tepatnya
“berpasangan” merupakan ketetapan Illahi atas segala makhluk. Berulang-ulang
hakikat ini di tegaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Mendambakan pasangan
merupakan fitrah manusia sebelum dewasa dan dorongan yang sulit dibendung
setelah dewasa. Karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara
pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya
“perkawinan” dalam sebuah keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah.
Dengan adanya tujuan tersebut,
agama Islam mensyariatkan dalam Al-Qur’an dengan menekankan perlunya kesiapan
fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Dan As-Sunnah memberi
keterangan tentang ketentuan-ketentuan
pernikahan, baik sebelum maupun setelah pernikahan. Salah satunya seperti
pada pembahasan yang ada di makalah ini, dengan judul “Pernikahan”.
II.
MATAN
HADITS DAN TERJEMAH
A. Hadits Abu
Hurairah tentang kategori pemilihan jodoh
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَجَماَ لِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
(أخرجه البخاري في كتاب النكاح)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. (ia berkata), dari Nabi SAW. beliau
bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau
memilih (perempuan) yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. (dikeluarkan
dari HR. Bukhori dalam Kitab Nikah)
B.
Hadits ‘Aisyah tentang nikah sebagai
sunnah Nabi
عَنْ عَا
ئِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
اَلنِّكاَحُ مِنْ سُنَّتِيْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ
بِسُنَّتِيْ
فَلَيْسَ مِنِّيْ وَتَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكاَثِرٌ بِكُمُ اْلاَ مَمَ وَمَنْ
كَانَ ذَاطَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ
فَعَلَيْهِ
بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ . (أخرجه ابن ماجه في كتاب النكاح)
Artinya:
“Dari ‘Aisyah, Dia berkata Rasulullah SAW bersabda: Nikah itu sebagian dari sunahku,
barang siapa yang tidak mau mengamalkan sunahku, maka dia bukan termasuk
golonganku. Dan menikahlah kalian semua, sesungguhnya aku (senang) kalian
memperbanyak umat, dan barang siapa (diantara kalian) telah memiliki kemampuaan
atau persiapan (untuk menikah) maka menikahlah, dan barang siapa yang belum
mendapati dirinya (kemampuan atau kesiapan ) maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa
merupakan pemotong hawa nafsu baginya.” (dikeluarkan dari HR. Ibnu Majah
dalam Kitab Nikah)
C.
Hadits ‘Abdulloh bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah
عَنْ عَبْدُ
الرَّحْمَنُ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
. (أخرجه مسلم في كتاب النكاح)
Artinya:
“Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah (dia) berkata, berkata Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hai para pemuda! Barang siapa yang mampu
beristri, hendaklah ia kawin; karena perkawinan itu berpengaruh besar untuk
menundukkan mata (dari memandang wanita yang bukan keluarga) dan tangguh
menjaga alat vital. Barang siapa yang tak sanggup kawin, hendaklah ia berpuasa,
karena puasa itu alat penahan nafsu birahi”. (dikeluarkan
dari HR. Muslim dalam Kitab Nikah)
III.
PEMBAHASAN
A.
Hadits
Abu Hurairah tentang kategori pemilihan jodoh
Tunkahul mar’ah li arba’ (تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ) bukan berarti bahwa empat kriteria yang disebutkan di dalam hadits di atas
merupakan empat kriteria yang dianjurkan kepada seorang muslim yang akan
memilih jodohnya. Namun maksud dari lafadz di atas adalah Rasulallah SAW memberitahukan
bahwa empat hal yang menjadi kebiasaan laki-laki ketika memilih perempuan.
1.
Hartanya
Di dalam hadis ini seorang
laki-laki (mencari jodoh) dianjurkan untuk memilih calon istri berdasarkan
hartanya. Karena dengan harta mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup keluaganya.
Dengan harta pula mereka tidak akan kekurangan dan bisa bersenang-senang, serta
bisa menyisihkan sedikit hartanya untuk berbagi dengan yang lain. Di dalam
hadis juga diterangkan jika harta itu milik istri maka suami boleh menggunakan
harta tersebut dengan izin istri. Berbeda halnya dengan harta milik suami,
istri berhak memakainya karena pada dasarnya suami wajib memeberi nafkah kepada
istri. Namun makruh hukumnya jika seorang laki-laki memilih calon istri
berdasarkan hartanya, karena
dikhawatirkan dengan harta istri bisa menurunkan kehormatan suami.
2.
Derajat atau kemuliaan keluarganya
Anjuran berikutnya memilih
calon pasangan berdasarkan hasabnya. Hasab disini bisa diartikan menjadi dua
makna yaitu, keturunan dan derajat atau pangkat. Jika dilihat dari keturunan,
maka seseorang yang akan memilih jodohnya harus mengetahui asal-usul kelahiran
Si calon dari ayah dan kerabat dekatnya yang satu nasab. Dengan mengetahui
nasab atau keturunannya maka tidak akan menimbulkan fitnah.
Hasab dilihat dari derajat
atau pangkat kemuliaan. Dengan memilih wanita yang memiliki derajat atau
pangkat maka bisa mengangkat kehormatan dirinya. Namun, laki-laki yang menikahi
seorang perempuan berdasarkan kehormatannya saja, juga dihinakan oleh Nabi,
sebagaimana sabdanya: “barang siapa
menikahi wanita karena kemuliaannya, maka tidak akan bertambah baginya kecuali
kehinaan.”
3.
Kecantikannya
Memilih wanita dari
kecantikannya dan kebaikannya. Karena wanita yang cantik itu enak dipandang. Akan
tetapi makruh juga hukumnya, jika menikah dengan wanita yang sangat cantik
malah justru akan menimbulkan keresahan pada suaminya, bahkan takut menimbulkan
fitnah.
4.
Agamanya (akhlaknya)
Dari keempat kriteria di atas,
memilih perempuan untuk dinikahi berdasarkan agamanya adalah yang paling pokok
yang dianjurkan oleh Nabi saw. Memilih wanita dari agamanya, karena wanita yang
baik agamanya dapat memberikan manfaaat dunia dan akhirat. Wanita yang kuat agamanya juga memiliki akhlak
yang baik (wanita sholihah), akan mudah patuh dan taat di atur dalam keluarga,
serta wanita inilah yang kelak akan kita butuhkan. Wanita sholihah senantiasa
bersedia menemani dan menjaga kehormaatan sang suami bagaimanapun keadaannya. Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk
menghasilkan keturunan yang baik, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan
agama Islam.
Keturunan yang seperti
inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw sebagai keturunan yang dapat
memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah yang baik akan sulit dihasilkan
kecuali oleh pohon yang baik pula. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “janganlah
memilih wanita karena kebaikannya karena dengan kebaikannya maka akan ........ dan
janganlah memilih berdasarkan hartanya karena hartanya akan menimbulkan
......... akan tetapi pilihlah wanita dari agamanya, sekalipun wanitu itu hitam
sekali tetapi agamanya lebih utama.
Banyak pendapat mengenai
hadits ini, diantaranya pendapat Al-Ghazali bahwa memilih istri hanya
berdasarkan agamanya karena sesungguhnya kecantikan, harta, dan kedudukan itu
hanyalah sementara. Tetapi berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i yang
menyebutkan bahwa memilih pasangan itu berdasarkan kebutuhannya. Contonya
ketika Rasulullah menikahi ‘Aisyah berdasarkan kepandaiannya. Dengan
kepandaiannya ‘Aisyah maka hadits Nabi bisa terpelhara sampai sekarang.
B.
Hadits
‘Aisyah tentang nikah sebagai sunnah Nabi SAW
C.
Hadits
Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah
Menurut ahli bahasa
golongan pemuda dalam hadits tersebut adalah golongan yang belum mencapai tiga
puluh tahun. Maka golongan pemuda tersebut dianjurkan untuk menikah, dengan
beberapa ketentuan. Anjuran ini bukan berarti wajib melainkan sunah. Seperti
pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Shahih Muslim ‘Ala Syarhin bahwa
hukum nikah itu dibagi menjadi empat, yaitu:
1.
Laki-laki yang mampu berjima’ dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya maka sunah hukumnya untuk menikah
2.
Laki-laki yang mampu berjima’ tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan
dirinya sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maka makruh
hukumnya untuk menikah
3.
Laki-laki yang mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya tetapi tidak
mampu berjima’ maka hukumnya juga makruh untuk menikah
4.
Laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya
serta tidak mampu berjima’ maka lebih baik menjauhi pernikahan.
Hadits ini juga menerangkan
bahwa Nabi SAW menandaskan, siapa saja di antara para pemuda yang mempunyai
kesanggupan untuk menikah dan mempunyai penghasilan untuk membelanjai rumah
tangga serta berkeinginan hidup berumah tangga hendaklah menikah, tidak boleh
membujang. Mereka yang tidak sanggup memelihara rumah tangga, atau tidak
mempunyai kemampuan untuk menikah hendaklah dia berpuasa, karena puasa baginya
sama dengan mengebirikan (mensterilkan) diri. Maka tidak halal beristri bagi
orang yang merasa tidak sanggup memberi nafkah atau mas kawin, atau sesuatu hak
istri sebelum dia menerangkan kepada istri tentang keadaannya, dan hendaklah
dia menerangkan pula tentang keadaan kesehatan badannya, seandainya dia
mempunyai penyakit yang menghalangi persetubuhan.
IV.
PENUTUP
A.
Simpulan
B.
Saran
Demikian
makalah “pernikahan” yang penulis susun. Adapun kesalahan dan kekurangan
yang ada pada makalah ini, penulis mohon maaf. Karena itu, kritik dan saran
dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan dalam pembuatan
makalah-makalah selanjutnya. Apabila pembaca ingin mengetahui lebih lanjut tentang
pembahasan yang ada dalam makalah ini, pembaca bisa membaca sendiri dari
referensi yang digunakan dalam makalah ini, atau dari referensi-referensi lain
yang berhubungan. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua
yang membacanya. Amiin...
Al-Ju’fi, Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail al-Bukhari. 1992. Shahih al-Bukhari Juz 5. Beirut, Lebanon: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah
Al-Naisaburi,
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. 1992. Shahih Bukhari Juz 2. Beirut,
Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah
Al-Qarwini, Abu Abdullah Muhammad bin
Yazid bin Majah ar-Rabi’i. 275 H. Sunan Ibn Majah Juz 1. Beirut, Lebanon: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah
Al-Qasthalani,
Shihabuddin Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Syafi’i. 1996. Irsyadus-Sari. Beirut,
Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah
Ash
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2003. Mutiara Hadits Jilid 5. Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra
Munawwar, Said
Agil Husin dan Abdul Mustaqim. 2001. Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadits Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Razak, Ahmad dan Rais Lathief. 1980. Terjemah Hadits Shahih
Muslim Juz II. Jakarta: Pustaka Al Husna
an-Nawawi,
Muhyidin. 1995. Shahih Muslim ‘Ala Syarhin Nawawi. Beirut, Lebanon: Dar
al-Kotob al-Ilmiyah.